Kamis, 20 Februari 2014

Sikap Inklusif Dalam Menghadapi Eksistensi Anak Berkebutuhan Khusus Oleh : Ibnu Rusyd

Pertama-tama perlu dipertegas, bahwa anak berkebutuhan khusus merupakan fenomena nyata, dan sudah menjadi bagian tersendiri dalam kosmos atau lingkup hidup manusia. Dengan memahami yang demikian, maka eksistensi alias keberadaan anak berkebutuhan khusus menjadi terakui, sama statusnya dengan eksistensi manusia-manusia lain, yang dianggap normal, dan tidak memerlukan kebutuhan khusus. Akan tetapi, bukan kehidupan namanya kalau ia tidak disertai dengan problema. Dalam hal anak berkebutuhan khusus juga memiliki segudang permasalahan, seperti bagaimana mendidik mereka, membiasakan mereka untuk mampu hidup di dunia mayoritas yang normal, dan seterusnya.

Akan tetapi, permasalahan marginalisasi dan diskriminasi sudah barang tentu yang menjadi perhatian utama. Mengapa? Hal ini karena, segala problema yang muncul di sekitar anak berkebutuhan khusus seperti bagaimana mendidik mereka, dan untuk apa mereka diproyeksikan di masa depan, semua itu hanya masalah turunan dari kenyataan bahwa anak berkebutuhan khusus adalah fenomena diferensiasi, alias perbedaan yang muncul begitu saja dalam masyarakat. Sementara itu, kecenderungan manusia adalah sulit menerima sesuatu yang tampak berbeda dari dirinya. Maka persoalan marginalisasi alias pengucilan, dan diskriminasi alias pembedaan (bedakan dengan perbedaan), menjadi masalah utama.

Setelah itu, lalu apa? Manusia sebagai elemen utama pembangun masyarakat sedari dini mesti menyadari bahwa sikap marginalisasi dan diskriminasi atas perbedaan bukanlah hal yang tepat dan wajar. Terlebih di era kita yang modern ini, yang sulit menerima tindakan-tindakan semacam itu untuk menghadapi bahkan menghilangkan perbedaan. Masyarakat kita menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan hak asasi manusia, sehingga melakukan pengucilan dan pembedaan yang berujung pada pencabutan hak-hak individu, termasuk individu berkebutuhan khusus, selayaknya ditolak.

Ada istilah khusus untuk menamai sekolah bagi anak berkebutuhan khusus, selain sekolah luar biasa (SLB), adalah sekolah inklusi. Entah bagaimana awal mulanya, sehingga nama inklusi dipilih. Namun bukan rahasia lagi bahwa tentu ia berkaitan dengan sikap inklusif.

Apakah itu inklusif? Jika kita mencari derivasi kata inklusif dalam bahasa Arab, maka kita akan bertemu dengan kata al-maftuhiyyah yang bermakna keterbukaan. Dan negasi daripada inklusif, yakni eksklusif, memiliki padanan Arabnya sebagai al-mughallaqiyyah yang bermakna ketertutupan. Darinya kita bisa memahami bahwa sikap inklusif adalah sikap di mana individu ataupun masyarakat memilih sikap keterbukaan. Keterbukaan terhadap apa? Tentu saja keterbukaan terhadap perbedaan yang ada, yang sudah menjadi hukum alam. Sebagai konsekuensi daripada keterbukaan adalah sikap mau menerima eksistensi The other, dan mau bergaul dengannya. Tak heran jika kemudian nama inklusi dipilih untuk mengidentifikasi sekolah bagi anak-anak berkebutuhan khusus. Karena dengan nama demikian, maka paradigma pendidikan, lembaga dan tenaga kependidikan yang terlibat, menyiapkan dan mengikrarkan dirinya untuk menerima, dan mau membantu anak-anak yang berbeda itu.

Menghidupkan Inklusivisme
Tentu saja untuk mencapai kesadaran akan pentingnya sikap inklusif, jika kita menengok track record kehidupan manusia dalam bermasyarakat, bukan hal yang mudah dan begitu saja muncul. Nampaknya manusia hidup lebih banyak dalam gelimang konflik yang diawali dengan sikap eksklusif, marginalisasi dan diskriminasi. Namun di tengah-tengah kompetisi tersebut, tak bisa dipungkiri bahwa inklusivisme selalu menjadi harapan terakhir, karena dengannya manusia benar-benar dipandang sebagai manusia.

Jika demikian halnya, maka sejatinya benih-benih kemunculan sikap inklusif sudah tertanam dalam diri alamiah manusia. Agama menyebutnya sebagai fitrah, yang tertanam dalam tatanan akal dan qalbu. Manusia, dalam salah satu ucapan suci Nabi Muhammad Saw, dikatakan cenderung kepada ke-hanif-an, yakni cenderung kepada nilai-nilai kebaikan yang universal. Oleh karena itu tidak heran dalam teori sosiologi, manusia yang benar – homo sosiologos – adalah mereka yang memiliki jiwa simpati dan empati dalam dirinya. Yakni keadaan jiwa yang mudah tertarik dan peduli pada kepentingan dan keselamatan (baca: kebahagiaan) orang sekitarnya. Inilah benih-benih inklusivisme.

Untuk mewujudkan inklusivisme itu, maka akan ada banyak pilihan jalur yang bisa digunakan manusia. Entah itu pendidikan, ekonomi, sosial bahkan politik. Namun tentu dunia pendidikan memegang obor paling awal, karena merekalah yang akan menghadapi dan bertanggung jawab pada jiwa-jiwa manusia sedari dini. Maka mulai mencanangkan pendidikan dengan goal karakter yang inklusif telah dan akan selalu menjadi agenda utama kita.

Di luar itu, masyarakat sebenarnya memiliki pamong untuk menjaga keharmonisannya, yang ditandai dengan mengikisnya eksklusivisme dan diskriminasi. Pamong itu adalah agama dan budaya (local wisdom). Agama dan budaya sebagai pembangun rangka pikir dan paradigma individu yang paling handal, tentu seharusnya dimanfaatkan untuk kepentingan menumbuhkan inklusivisme ini, selain karena sebenarnya demikian itulah tugas dari keberadaan agama dan budaya. Agama bermakna nihilisasi atas keburukan, sementara budaya bermakna pandangan, sikap, dan aksi penuh keadaban. Maka sudah barang tentu, inklusivisme berada di dalamnya.

Minggu, 16 Februari 2014

Psikologi Pendidikan

Psikologi pendidikan berasal dari dua suku kata psikologi dan pendidikan. Secara harfiah kata psikologi berarti ilmu jiwa. Psikologi berasal dari 2 kata Yunani, yaitu psyche yang berarti jiwa dan logos yang berarti ilmu. Meski secara harfiah psikologi berarti ilmu jiwa, namun yang dibahas di dalamnya bukanlah tentang jiwa. Ilmu jiwa atau jiwa merupakan sesuatu yang sulit untuk diteliti, karena jiwa adalah sesuatu yang bersifat abstrak atau tidak konkret.

Psikologi merupakan ilmu pengetahuan. Dan salah satu syarat dari ilmu pengetahuan adalah memiliki objek. Sehingga yang mungkin dikaji adalah manifestasi dari jiwa yang berwujud fisik berupa perilaku individu -jiwa dan raga- dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Perilaku individu merupakan suatu objek yang bisa diteliti, dan merupakan manifestasi yang diwujudkan dalam bentuk fisik dari jiwa.

Selanjutnya Whiterington (1982:10), mendefinisikan pendidikan adalah sebagai proses pertumbuhan yang berlangsung melalui tindakan-tindakan belajar. Tindakan belajar tersebut sifatnya belajar secara terus menerus sepanjang hayat sehingga menghasilkan peningkatan dari perilaku individu.

Belajar itu bagaikan sebuah pohon besar yang menghasilkan manfaat untuk dirinya sendiri dan orang lain. Sebuah pohon akan terus tumbuh sedikit – demi sedikit dari waktu ke waktu meskipun dirinya telah ditebang oleh manusia. Dia –pohon- telah melakukan tindakan belajar, dia akan terus tumbuh menjadi besar sehingga kelak nanti akan bermanfaat untuk dirinya dan orang lain. Kunci belajar atau menimba ilmu harus konstan dan berkelanjutan -rutin- hingga hayat nanti. Karena semangat untuk belajar adalah semangat untuk tumbuh terus tanpa henti.

Dalam kata psikologi pendidikan terdapat kata pendidikan maka fokusnya adalah proses belajar mengajar. Psikologi pendidikan adalah studi sistematis terhadap proses dan faktor-faktor yang berhubungan dengan pendidikan –proses belajar mengajar-. 15/02/14

Kamis, 19 September 2013

Mengenang Habib Munzir, Awalnya Dakwah dari Rumah ke Rumah

REPUBLIKA.CO.ID, Innalillahi wa Inna Ilaihi Rojiun. Wafatnya pendiri Majelis Rasulullah, Habib Munzir Al Musawa menjadi kabar duka usai wafatnya Ustaz Jefri Al Buchori beberapa waktu lalu.
Pada Ahad (15/9) sore, Habib Munzir dijemput Malaikat Izrail untuk bertemu Sang Khalik. Ratusan ribu pemuda yang berhasil diajaknya untuk mencintai Rasulullah pun menangis atas kepergiannya.
Perjalanan Habib Munzir hingga dapat membuat Majelis Rasulullah besar seperti sekarang bukan tanpa keringat.
Pada awal-awal perjalanan dakwahnya,  Habib yang tutur katanya lembut ini menuturkan bagaimana perjuangan keras untuk mengajak warga mengenal Tuhan.
Dari kediamannya di Cipanas, pada tahun 1998, saat ia baru berusia 26 tahun, dia harus terjun dari rumah ke rumah. Waktu itu, yang mengikuti majelisnya hanya 3 - 6 orang. Setelah dari rumah ke rumah -- ia sampai harus menginap di Jakarta karena terlalu jauh untuk pulang ke Cipanas -- akhirnya meluas dari musala ke musala.
Berkat perjuangan yang gigih dan semata-mata lillahi taala, mejelisnya makin meluas. Musala menjadi tak cukup. Lalu pindah ke empat masjid besar, yaitu Masjid At-Taubah, Masjid At-Taqwa di Pasar Minggu, Masjid Al-Munawar di Pancoran, dan Pesantren Daarul Islah di Mampang, Jakarta Selatan.
Menurutnya, semakin banyaknya para pemuda yang mengikuti majelisnya, karena ia menekankan pada mereka tentang kasih sayang sesama umat seperti dicontohkan Rasulullah. Pendekatan demikian, katanya, sangat ampuh.
''Dari mereka yang tadinya sama sekali tak tertarik pada Islam, bahkan ada di antara mereka yang menjadi preman dan pecandu narkoba, berubah 180 derajat dan mau mengaji,'' tuturnya saat diwawancara Republika semasa hidupnya.
Sepintas, ketika menyaksikan Majelis Rasulullah SAW seperti majelis dzikir H Mohammad Arifin Ilham atau majelisnya Ustadz Haryono. Baik dalam tata cara berpakaian maupun sistem pengajiannya. Tapi yang sangat kontras adalah, di Majelis Rasulullah hampir seluruh jamaahnya adalah anak-anak muda.
''Memang selama majelis didirikan dua tahun lalu, sasaran saya adalah generasi muda. Agar figur Rasulullah benar-benar menjadi idola mereka,'' katanya.
Dengan makin pesatnya majelis taklim ini, kegiatannya ke daerah-daerah dan luar negeri hampir tidak mungkin dilakukan lagi.
Padahal dahulu, ia sering berdakwah di berbagai daerah, dan sudah punya kegiatan bulanan di Bali, Lombok, Madura, serta di beberapa tempat di Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi. Secara keseluruhan, ia telah membina 99 majelis taklim di sekitar Jakarta dan di kota-kota besar di Jawa, Bali, dan Lombok.
Dia pun menyampaikan dakwah ke luar negeri yang dulu sering dilakukan kini hampir tidak mungkin dilaksanakan.Padahal, habib yang mendalami bidang fikih, terjemahan Alquran, ilmu hadis, dan tata bahasa Arab ini dulu sering berceramah di Singapura, Malaysia, dan Pathani (Thailand Selatan).
Di Singapura, ia memberikan ceramah di di hadapan umat Islam yang bekerja di Bandar Udara Changi. Anak kandung Fuad Abdurahman, mantan wartawan Berita Buana, kini hampir tiap hari waktunya dihabiskan untuk dakwah.

http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/13/09/15/mt64y9-mengenang-habib-munzir-awalnya-dakwah-dari-rumah-ke-rumah
Redaktur : A.Syalaby Ichsan
Sumber : Harian Republika

Rabu, 11 September 2013

Definisi Evaluasi, Asesmen, dan Tes

Berbicara tentang evaluasi, maka beberapa dari kita akan terbersit tentang penilaian diakhir. Mengartikan evaluasi sebagai penilaian diakhir bukanlah suatu hal yang salah. Hanya saja evaluasi jauh lebih luas dari penilaian diakhir. Biasanya di dalam evaluasi terdapat istilah-istilah yang mengiringinya, diantaranya tes, pengukuran (measurement), penilaian (assessment) dan evaluasi itu sendiri. Kesemua istilah-istilah tersebut memiliki definisi yang hampir sama dan saling terkait satu dengan yang lainnya. Untuk lebih mengetahui istilah evaluasi, asesmen, dan tes, berikut ini akan ada beberapa definisi dari para ahli mengenai istilah-istilah tersebut.

Sabtu, 24 Agustus 2013

Mengembalikan File yang Terhidden Oleh Virus dengan Command Prompt

Assalamu'alaikum... Hello bro... kali ini saya mau berbagi sedikit trik yang selalu saya gunakan pada kasus flashdisk yang file dan dokumennya terhidden akibat ulah virus. Pasti pernah kalian alami file atau dokumen yang ada di flashdisk mendadak hilang tanpa jejak atau berubah menjadi sebuah shourcut". Nah..  Solusinya cukup mudah untuk mengembalikan file dan dokumen yang hilang tersebut. Kita bisa gunakan fasilitas yang ada di windows secara defaultnya, yaitu dengan menggunakan command prompt pada windows.

Popular Posts