Sabtu, 27 April 2013

Hubungan Perkembangan Kognitif Terhadap Kemampuan Membaca

Manusia merupakan makhluk pembelajar yang selalu mencari tahu tentang sesuatu yang ingin diketahui dan dipahaminya. Ada banyak cara untuk mendapatkan informasi tentang suatu hal yang ingin diketahui, diantaranya dengan bertanya kepada seseorang yang dianggap lebih tahu, berdiskusi, dan membaca. Namun kesemua cara itu sangat dipengaruhi oleh perkembangan kognitif seseorang. Khususnya kemampuan membaca, untuk memahami isi suatu bacaan diperlukan proses berpikir yang matang. Lalu bagaimana jika seseorang mengalami kesulitan dalam perkembangan kognitif, apakah akan mempengaruhi kemampuan membacanya?. Pada kali ini penulis akan membahas tentang  hubungan perkembangan kognitif terhadap kemampuan membaca.
Membaca merupakan kegiatan untuk memahami suatu bahasa yang tertulis dalam naskah. Kemampuan membaca harus dimiliki oleh setiap manusia, mulai dari anak-anak hingga orang dewasa. Hal ini terbukti karena membaca telah masuk dalam kurikulum di sekolah dasar pada kelas permulaan (kelas 1, dan 2 SD). Dengan kegitan membaca maka keilmuan seseorang terhadap suatu bidang studi akan terus mengalami pembaharuan dan tingkat keterampilanpun akan berkembang. Membaca memerlukan sikap sabar untuk dapat memahami isi suatu bacaan. Karena tujuan akhir membaca adalah untuk memahami isi bacaan, bukan sekedar mengucapkan lambang bunyi suatu tulisan.[1] Adapun manfaat membaca sebagai sarana rekreasi untuk bertukar pikiran dengan penulis naskah. Sehingga seperti sedang berdialog dengan penulis.
Dalam membaca terjadi aktivitas kompleks yang mencakup fisik, seperti gerak mata dan ketajaman penglihatan dalam membaca. Selain fisik membaca juga mencakup mental, seperti ingatan dan pemahaman. Ini menunjukkan bahwa kemampuan membaca bukan hanya terkait dengan kematangan gerak motorik mata, tetapi juga tahap perkembangan kognitif.[2] Maka perkembangan kognitif merupakan hal penting dalam kemampuan membaca seseorang.
Kognitif merupakan suatu yang berhubungan dengan proses berpikir guna untuk mengetahui atau memahami sesuatu. Wujud dari penggunaan fungsi kemampuan kognitif seseorang dapat dilihat dari kemampuannya dalam menggunakan bahasa dan matematika (Wienman. 1981: 142). Perkembangan kognitif yang matang sesuai usianya sangat membatu untuk fungsi mental seseorang. Fungsi mental tersebut meliputi persepsi, pikiran, simbol, penalaran, dan pemecahan masalah.[3]
Jean Piaget yang merupakan tokoh psikologi perkembangan berkebangsaan Swiss ini, menyatakan dalam teori kognitifnya bahwa anak-anak secara aktif membangun pemahaman mengenai dunia dan melalui empat tahap perkembangan kognitif.[4] Keempat tahap perkembangan kognitif tersebut meliputi :
v Tahap sensomotori (mulai dari lahir hingga 2 tahun). Dalam tahap ini, bayi membangun pemahaman mengenai dunianya dengan mengkordinasikan pengalaman-pengalaman sensorisnya (melihat, mendengar) dengan tindakan-tindakan fisik dan motorik.
v Tahap praoperasi (2 hingga 7 tahun). Anak mulai melukiskan dunianya dengan kata-kata dan gambar. Kata-kata dan gambar ini mencerminkan meningkatnya pemikiran simbolis dan melampaui hubungan informasi sensoris dan tindakan fisik.
v Tahap operasi konkret (7 hingga 11 tahun). Anak saat ini dapat bernalar secara logis mengenai peristiwa-peristiwa konkret dan mengklasifikasikan objek-objek ke dalam bentuk-bentuk yang berbeda.
v Tahap operasi formal (11 tahun hingga masa dewasa). Remaja bernalar secara lebih abstrak, idealis, dan logis.
Jika seorang anak tidak memperlihatkan indikator perkembangan kognitif Piaget sesuai dengan rentan usianya atau pun tidak mengikuti pola perkembangan kognitif tersebut, maka ada kemungkinan anak mengalami kesulitan dalam kemampuan perkembangan kognitifnya. Sehingga anak tersebut tidak mampu menyelesaikan tugas-tugas kognitif yang di tuntut oleh kebanyakan sekolah. Serta mempengaruhi proses belajarnya, dan anak akan berkesulitan belajar.
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa keberhasilan anak dalam menyelesaikan tugas-tugas kognitif terkait dengan gaya kognitif mereka.[5] Gaya kognitif adalah cara seseorang dalam menghadapi tugas kognitif dan berpikir untuk menyelesaikan permasalahan (pemecahan masalah).[6] Hallahan, Kauffman, dan Llody (1985: 84) berpadangan bahwa gaya kognitif adalah bagaimana cara seseorang berpikir (how of thinking), dan setiap orang memiliki gaya kognitif yang berbeda-beda dalam menghadapi tugas-tugas pemecahan masalah.[7]
Pada kajian anak berkesulitan belajar akan ada dua dimensi yang mempengaruhi gaya kognitif seorang anak, yaitu : (a)gaya kognitif ketidakterikatan-keterikatan pada lingkungan (field independence-field dependence), dan (b)gaya kognitif reflektifitas-impulsivitas (reflectivity-impulsivity) (Hallahan, Kauffman, dan Lloyd, 1985: 84).[8]
a.              Gaya Kognitif Ketidakterikatan-Keterikatan Pada Lingkungan
Kemampuan seseorang untuk membebaskan diri dari pengaruh lingkungan pada saat membuat keputusan tentang tugas-tugas perseptual. Disebut keterterikatan pada lingkungan (field dependence) karena seseorang dalam menghadapi tugas-tugas perseptual banyak dipengaruhi oleh lingkungan. Dan disebut ketidakterikatan pada lingkungan (field independence) karena seseorang tidak mudah terpengaruh pada lingkungan terhadap tugas perseptualnya.
Anak berkesulitan belajar umumnya tergolong dalam gaya kognitif keterikatan pada lingkungan. Sehingga anak tersebut mudah terkecoh oleh informasi yang menyesatkan dan persepsinya menjadi tidak akurat.[9] Implikasi kondisi tersebut, maka perlunya latihan bagi anak bekesulitan belajar agar mampu memusatkan perhatian pada data perseptual yang esensial dan menghindari diri pada pengaruh data yang mengecohkan.
b.             Gaya Kognitif Reflektifitas-Impulsivitas
Kemapuan yang terkait dengan pemanfaatan atau penggunaan waktu yang diperlukan anak dalam menjawab persoalan dan jumlah kesalahan yang dibuat. Anak yang impulsif cenderung menjawab persoalan secara cepat tetapi membuat banyak kesalahan, sedangkan anak yang reflektif cenderung menjawab persoalan secara lebih lambat tetapi hanya membuat sedikit kesalahan.[10]. Umumnya anak berkembang dari impulsif ke reflektif, yang berarti bahwa anak yang muda lebih impulsif dan anak yang tua cenderung lebih reflektif.
Meskipun demikian berbeda halnya dengan anak berkesulitan belajar, mereka lebih cenderung dengan gaya kognitif yang impulsif, walaupun usianya mungkin lebih tua.[11] Karena gaya kognitif impulsif tersebut anak berkesulitan belajar memiliki problema bukan hanya dalam bidang akademik tetapi juga pada perilakunya. Implikasi dari kondisi tersebut maka perlunya latihan, khususnya bagi anak berkesulitan belajar dengan gaya kognitif impulsif agar mereka memperoleh latihan merespons suatu persoalan dengan menggunakan waktu yang cukup dan cara yang lebih hati-hati.
Karena tujuan akhir membaca adalah untuk memahami isi bacaan, seperti yang sudah tertulis di paragraf-paragraf atas. Maka untuk memahami isi bacaan diperlukan proses berpikir untuk mencerna apa yang hendak penulis naskah sampaikan pada tulisannya. Proses berpikir itu yang dikenal juga dengan proses kerja kognitif. Sejalan dengan apa yang sudah disampaikan di atas, maka peranan kognitif sangat penting dalam menciptakan kemampuan membaca. Dengan demikian jelas bahwa, jika seseorang mengalami keterlambatan atau tetidaksesuaian pola perkembangan kognitif maka kemampuan membaca untuk memahami suatu naskah akan mengalami keterlambatan.
Pada paragraf sebelumnya telah dikatakan bahwa keberhasilan anak dalam menyelesaikan tugas-tugas kognitif terkait dengan gaya kognitif mereka. Oleh karena itu penting kiranya dalam mengetahui gaya kognitif, guna untuk memberikan intervensi dan strategi yang tepat bagi mereka yang mengalami kesulitan dalam kegiatan membaca sesuai dengan gaya kognitifnya.
Demikianlah paper yang dapat penulis berikan kepada para pembaca. Semoga dapat bermanfaat. Terimakasih.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Mulyono. (2012). Anak Bekesulitan Balajar Teori ,Diagnosis, Dan Remediasinya. Jakarta: Rineka Cipta.
Santrock, John W. (2012). Life-Span Developments Perkembangan Masa-Hidup. Jakarta: Erlangga.



[1] Prof.Dr.Mulyono AbdurrahmanAnak Berkesulitan Belajar Teori, Diagnosis, dan Remediasinya(JakartaRineka Cipta, 2012), 158.
[2] Ibid. 158-159.
[3] Ibid. 131.
[4] John W, SantrockLife-Span Development(JakartaErlangga, 2012), 27.
[5] Prof.Dr.Mulyono AbdurrahmanAnak Berkesulitan Belajar Teori, Diagnosis, dan Remediasinya(JakartaRineka Cipta, 2012), 133.
[6] Ibid. 134.
[7] Ibid.
[8] Ibid.
[9] Ibid. 135.
[10] Ibid.
[11] Ibid.

1 komentar:

  1. Mengapa kami selalu ingin terus mengujungi blog ini, karena banyak artikel yang menarik seperti ini? salam sukses

    BalasHapus

Popular Posts