Jumat, 28 Juni 2013

Kognitif dan Kesulitan Belajar

Kognitif merupakan suatu yang berhubungan dengan proses berpikir guna untuk mengetahui atau memahami sesuatu. Wujud dari penggunaan fungsi kemampuan kognitif seseorang dapat dilihat dari kemampuannya dalam menggunakan bahasa dan matematika (Wienman. 1981: 142). Perkembangan kognitif yang matang sesuai usianya sangat membatu untuk fungsi mental seseorang yang meliputi persepsi, pikiran, simbol, penalaran, dan pemecahan masalah.[1]
Jean Piaget yang merupakan tokoh psikologi perkembangan berkebangsaan Swiss ini, menyatakan dalam teori kognitifnya bahwa anak-anak secara aktif membangun pemahaman mengenai dunia dan melalui empat tahap perkembangan kognitif.[2] Keempat tahap perkembangan kognitif tersebut meliputi :
v Tahap sensomotori (mulai dari lahir hingga 2 tahun). Dalam tahap ini, bayi membangun pemahaman mengenai dunianya dengan mengkordinasikan pengalaman-pengalaman sensorisnya (melihat, mendengar) dengan tindakan-tindakan fisik dan motorik.
v Tahap praoperasi (2 hingga 7 tahun). Anak mulai melukiskan dunianya dengan kata-kata dan gambar. Kata-kata dan gambar ini mencerminkan meningkatnya pemikiran simbolis dan melampaui hubungan informasi sensoris dan tindakan fisik.
v Tahap operasi konkret (7 hingga 11 tahun). Anak saat ini dapat bernalar secara logis mengenai peristiwa-peristiwa konkret dan mengklasifikasikan objek-objek ke dalam bentuk-bentuk yang berbeda.
v Tahap operasi formal (11 tahun hingga masa dewasa). Remaja bernalar secara lebih abstrak, idealis, dan logis.
Jika seorang anak tidak memperlihatkan indikator perkembangan kognitif Piaget sesuai dengan rentan usianya atau pun tidak mengikuti pola perkembangan kognitif tersebut, maka ada kemungkinan anak mengalami kesulitan dalam kemampuan perkembangan kognitifnya. Sehingga anak tersebut tidak mampu menyelesaikan tugas-tugas kognitif yang di tuntut oleh kebanyakan sekolah. Serta mempengaruhi proses belajarnya, dan anak akan berkesulitan belajar.
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa keberhasilan anak dalam menyelesaikan tugas-tugas kognitif terkait dengan gaya kognitif mereka.[3] Sehingga akan mempengaruhi pemrosesan informasi yang mereka dapatkan terhadap suatu lingkungan. Gaya kognitif adalah cara seseorang dalam menghadapi tugas kognitif dan berpikir untuk menyelesaikan permasalahan (pemecahan masalah).[4] Hallahan, Kauffman, dan Llody (1985: 84) berpadangan bahwa gaya kognitif adalah bagaimana cara seseorang berpikir (how of thinking), dan setiap orang memiliki gaya kognitif yang berbeda-beda dalam menghadapi tugas-tugas pemecahan masalah.[5]
Pada kajian anak berkesulitan belajar akan ada dua dimensi yang mempengaruhi gaya kognitif seorang anak, yaitu : (a)gaya kognitif ketidakterikatan-keterikatan pada lingkungan (field independence-field dependence), dan (b)gaya kognitif reflektifitas-impulsivitas (reflectivity-impulsivity) (Hallahan, Kauffman, dan Lloyd, 1985: 84).[6]
a.              Gaya Kognitif Ketidakterikatan-Keterikatan Pada Lingkungan
Kemampuan seseorang untuk membebaskan diri dari pengaruh lingkungan pada saat membuat keputusan tentang tugas-tugas perseptual. Disebut keterterikatan pada lingkungan (field dependence) karena seseorang dalam menghadapi tugas-tugas perseptual banyak dipengaruhi oleh lingkungan. Dan disebut ketidakterikatan pada lingkungan (field independence) karena seseorang tidak mudah terpengaruh pada lingkungan terhadap tugas perseptualnya.
Anak berkesulitan belajar umumnya tergolong dalam gaya kognitif keterikatan pada lingkungan. Sehingga anak tersebut mudah terkecoh oleh informasi yang menyesatkan dan persepsinya menjadi tidak akurat.[7] Implikasi kondisi tersebut, maka perlunya latihan bagi anak bekesulitan belajar agar mampu memusatkan perhatian pada data perseptual yang esensial dan menghindari diri pada pengaruh data yang mengecohkan.
b.             Gaya Kognitif Reflektifitas-Impulsivitas
Kemapuan yang terkait dengan pemanfaatan atau penggunaan waktu yang diperlukan anak dalam menjawab persoalan dan jumlah kesalahan yang dibuat. Anak yang impulsif cenderung menjawab persoalan secara cepat tetapi membuat banyak kesalahan, sedangkan anak yang reflektif cenderung menjawab persoalan secara lebih lambat tetapi hanya membuat sedikit kesalahan.[8]. Umumnya anak berkembang dari impulsif ke reflektif, yang berarti bahwa anak yang muda lebih impulsif dan anak yang tua cenderung lebih reflektif.
Meskipun demikian berbeda halnya dengan anak berkesulitan belajar, mereka lebih cenderung dengan gaya kognitif yang impulsif, walaupun usianya mungkin lebih tua.[9] Karena gaya kognitif impulsif tersebut anak berkesulitan belajar memiliki problema bukan hanya dalam bidang akademik tetapi juga pada perilakunya. Implikasi dari kondisi tersebut maka perlunya latihan, khususnya bagi anak berkesulitan belajar dengan gaya kognitif impulsif agar mereka memperoleh latihan merespons suatu persoalan dengan menggunakan waktu yang cukup dan cara yang lebih hati-hati.
Selain gaya kognitif yang dapat mempengaruhi dalam pemrosesan informasi, kemampuan memori juga merupakan salah satu elemen penting dalam pemrosesan informasi. Memori adalah merujuk pada proses mengigat informasi. Memori atau ingatan adalah proses penyimpanan informasi dan dapat dipanggil kembali ketika dibutuhkan (Cardoso, 1997).[10]
a.              Memori jangka pendek
Merupakan kemampuan untuk mengingat informasi yang lebih relatif pada jangka waktu yang pendek. Dalam memori jangka pendek seseorang mampu mempertahankan informasi selama 30 detik selama tidak ada pengulangan terhadap informasi itu. Memori jangka pendek dapat diukur dengan menyuruh anak mengamati objek-objek visual atau audio dalam waktu yang singkat, misalnya 20 detik. Dan anak diminta untuk mengingat kembali objek yang dilihat atau didengarnya dengan urutan yang benar.
Banyak anak berkesulitan belajar yang mengalami kesulitan dalam ingatan visual pada memori jangka pendek (Hallahan, Kauffman, & Ball, 1973; Tayer, Hallahan, Kauffman, & Ball, 1976). Dan fakta membuktikan bahwa anak berkesulitan belajar kemampuannya dalam memori jangka pendek auditori lebih rendah dari mereka yang tergolong tidak berkesulitan belajar(Humle & Snowling, 1992).
b.             Memori kerja
Beberapa bukti bahwa memori kerja lebih penting dari masalah memori jangka pendek dalam kesulitan membaca dari murid yang berkesulitan belajar. Memori kerja merujuk pada kemampuan seseorang untuk menjaga informasi dalam jumlah yang sedikit dalam pikiran. Sambil memahami informasi tersebut dan membayangkan informasi tersebut untuk bisa menuju operasi yang lebih jauh.
Contoh sehari-hari dari memori kerja tersebut untuk mengingat alamat rumah seseorang dalam pikiran. Sambil mendengarkan instruksi untuk mencapai alamat rumah tersebut. Atau juga dalam mendengarkan untuk menghafal runtutan peristiwa atau suatu kejadian dalam sebuah cerita dan mencoba untuk mengerti arti dari cerita tersebut. Dalam hal tersebut digambarkan bahwa memori kerja berbeda dengan memori jangka pendek.
Dalam studi ini, anak-anak dan dewasa yang berkesulitan belajar dan anak-anak dan dewasa yang normal dibandingkan dalam beberapa tipe dari tugas memori kerja dan memori pendek. Dalam salah satu tugas memori kerja contohnya seseorang diberikan sebuah barisan kata-kata. Lalu ditanyakan kembali adakah kata tersebut dalam barisan kata-kata yang diberikan. Dan dipinta untuk mengingat kembali kata-kata tersebut dalam urutan yang benar.
Hasilnya menyatakan bahwa untuk seseorang yang berkesulitan belajar, memori kerjanya tersebut sangat penting untuk memprediksikan bacaan dan kemampuan matematika. Dengan kata lain seseorang yang berkesulitan belajar yang memiliki kemampuan yang baik dalam memori jangka pendek dan memori kerja. Akan menampakkan kemampuan yang baik pula pada kemampuan membaca dan kemampuan matematika.

Ada dua strategi yang digunakan untuk mengembangkan perkembangan kognitif. Kedua strategi tersebut biasa digunakan oleh anak yang tidak berkesulitan belajar. Strategi tersebut adalah pengulangan dan pengorganisasian. Seorang anak akan mudah terbantu dalam mengingat sekelompok kata jika kata-kata tersebut diulang-ulang. Dan memorinya akan lebih terbantu lagi jika anak mampu mengorganisasikan kata-kata tersebut menjadi beberapa kelompok.
Anak berkesulitan belajar cenderung tidak menggunakan strategi mengulang atau menghafal dan mengorganisasikan materi yang harus diingat. Meskipun mereka dapat dilatih untuk hal tersebut, agar strategi ini menjadi kebiasaan dalam mengingat suatu materi yang dipelajari.
Dapat disimpulkan bahwa anak yang berkesulitan belajar memiliki beberapa hal yang ditandai dalam perkembangan kognitifnya. Anak kesulitan belajar memiliki gaya kognitif yang terikat atau ketergantungan pada lingkungan serta memiliki gaya kognitif yang impulsif. Artinya anak yang bertipe kognitif terikat pada lingkungan mudah terkocoh oleh informasi yang menyesatkan sehingga persepsinya tidak akurat. Dan anak kesulitan belajar memiki kemampuan kognitif yang lebih rendah dari anak yang normal. Sehingga memori jangka pendek dan memori kerjanya mempengaruhi kemampuannya dalam memprediksikan membaca dan matematika.
Untuk menanggulangi hal tersebut diperlukan latihan yang intensif dengan guru yang tepat. Seperti latihan untuk memusatkan perhatian pada data perseptual esensial dan menghindari diri dari pengaruh data yang mengecoh, latihan merespons suatu persoalan dengan menggunakan waktu yang cukup dan cara yang hati-hati. Serta latihan mengulang dan mengorganisasikan untuk perkembangan kognitif anak kesulitan belajar.

DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Mulyono. (2012). Anak Bekesulitan Balajar Teori ,Diagnosis, Dan Remediasinya. Jakarta: Rineka Cipta.
Hallhan, D.F., : Kauffman, J.M. ; & Lloyd, J.W., (1985 ) Introduction to Learning Disabilitis, New Jersey : Prentice-Hall Inc.
Santrock, John W. (2012). Life-Span Developments Perkembangan Masa-Hidup. Jakarta: Erlangga.


[1] Prof.Dr.Mulyono Abdurrahman, Anak Berkesulitan Belajar Teori, Diagnosis, dan Remediasinya, (Jakarta: Rineka Cipta, 2012), 131.
[2] John W, Santrock, Life-Span Development, (Jakarta: Erlangga, 2012), 27.
[3] Prof.Dr.Mulyono Abdurrahman, Anak Berkesulitan Belajar Teori, Diagnosis, dan Remediasinya, (Jakarta: Rineka Cipta, 2012), 133.
[4] Ibid. 134.
[5] Ibid.
[6] Ibid.
[7] Ibid. 135.
[8] Prof.Dr.Mulyono Abdurrahman, Anak Berkesulitan Belajar Teori, Diagnosis, dan Remediasinya, (Jakarta: Rineka Cipta, 2012), 135.
[9] Ibid.
[10] Martini Jamaris, Kesulitan Belajar Perpektif, Asesmen, Dan Penanggulangannya, (Jakarta: Yayasan Penamas Murni, 2009), 108.

0 komentar:

Posting Komentar

Popular Posts