Sabtu, 10 Maret 2012

Tunenetra (Hambatan dalam Penglihatan)


Tunanetra
Anak-anak dengan hambatan penglihatan adalah anak-anak yang kurang beruntung dalam memfungsikan indra penglihatannya, namun bukan berarti mereka tidak memiliki hak dan kurang beruntung dalam belajar, bermain dan berinteraksi sosial dengan masyarakat lainnya. Mereka mempunyai hak dan kesempatan serta kesetaraan hak yang sama dengan anak yang lainnya, hanya saja mereka memerlukan pelayan yang khusus untuk aktivitas dalam keseharian mereka. Salah satunya mereka membutuhkan pendidikan orientasi mobilitas untuk bisa mengenali wilayah suatu tempat dan berpindah atau bergerak dari tempat dia berada ketempat yang ingin dituju serta dapat berinteraksi dengan objek-objek sekitar. Secara umum, istilah tunanetra digunakan untuk menunjukan dan menggambarkan adanya gradasi atau tingkatan kerusakan atau gangguan penglihatan mulai dari yang berat sampai yang sangat berat sehingga mereka membutuhkan pelayanan pendidikan yang khusus dalam proses belajar. Persatuan Tunanetra Indonesia (PERTUNI : 2004) mendefinisikan bahwa orang tunanetra adalah mereka yang tidak memiliki penglihatan sama sekali (buta total) sampai dengan meraka yang masih memiliki sisa penglihatan tetapi tidak mampu menggunakan penglihatannya untuk membaca tulisan biasa berukuran 12 point dalam keadaan cahaya normal meskipun sudah dibantu dengan kacamata (kurang awas/kurang lihat).
Dari segi bahasa kata tunanetra terdiri dari kata tuna dan netra. Dalam kamus lengkap Bahasa Indonesia (Amran YS Chaiago 1995 : 540) kata tuna berarti tidak memiliki, tidak punya, luka atau rusak. Sedangkan kata netra berarti penglihatan. Dengan demikian tunanetra memiliki ciri tidak memiliki penglihatan atau rusak penglihatan. Dalam literatur bahasa inggris istilah tunanetra juga disebut dengan “Visual Impairment(Kerusakan Penglihatan)” atau “Sight Loss(Kehilangan Penglihatan)”. Dari kutipan Dr. Asep Supena, M.Psi mengatakan bahwa tunanetra (Visual Imprairment) adalah “mereka yang mengalami gangguan hambatan penglihatan secara signifikan (berarti). Sehingga membutuhkan layanan pendidikan atau pembelajaran yang khusus”. Contohnya penggunaan sistem baca tulis braille, alat pembesar bahan bacaan dan bentuk modifikasi lainnya.
Secara umum tunanetra dikelompokan menjadi kurang lihat (low vision) dan buta (blind). Namun sebagian ahli mengelompokannya menjadi kurang lihat (low vision), buta (blind) dan buta total (totally blind). Dapat disimpulkan orang tunanetra belum tentu buta, sedangkan orang buta sudah pasti tunanetra, kebutaan merupakan tingkat ketunanetraan yang paling berat.
            Terdapat sejenis konsensus internasional untuk menggunakan dua jenis definisi sehubungan dengan kelainan penglihatan : Definisi secara legal (legally definition) adalah definisi atau batasan tentang ketunanetraan yang didasarkan pada hasil pengukuran ketajaman penglihatan (visus : index pengukuran ketajaman penglihatan), yang biasa dilakukan oleh tenaga medis. Sehingga definisi ini juga disebut dengan definisi klinis atau medik. Dikatakan legal karena sering dijadikan persyaratan untuk menentukan seseorang dikatagorikan sebagai tunanetra atau tidak. Sedangkan dalam definisi pendidikan adalah didasarkan pada cara atau strategi pembelajaran yang mungkin dapat diberikan kepada mereka sesuai dengan sisa kemampuan penglihatan yang dimilikinya. Definisi ini biasa digunakan dalam dunia pendidikan.
Berikut ini adalah definisi tentang tunanetra yang berdasarkan dari dua aspek diatas yaitu definisi legal dan definisi pendidikan. Definisi tunanetra secara legal adalah mereka yang memiliki ketajaman penglihatan mulai dari 20/70 feet hingga buta total serta luas pandang mereka yang sedemikian sempit terhadap suatu luas bidang wilayah yang tidak lebih dari 20 derajat, maka mereka itu juga dapat dikatagorikan dalam tunanetra. Sementara definisi tunanetra secara pendidikan adalah mereka yang mengalami gangguan hambatan penglihatan yang signifikan (berarti) sehingga membutuhkan layanan pendidikan khusus.
Definisi yang didasarkan pada pendidikan dikemukakan oleh Barraga (1983) bahwa anak yang mengalami ketidakmampuan melihat adalah anak yang mempunyai gangguan atau kerusakan dalam penglihatannya. Sehingga menghambat prestasi belajar secara optimal, kecuali jika dilakukan penyesuaian dalam metode-metode penyajian pengalaman belajar, sifat-sifat bahan yang digunakan, dan atau lingkungan belajar.
Jadi dapat disimpulkan bahwa definisi tunanetra secara legal sudah merupakan aturan yang sah untuk menentukan seseorang tergolong tunanetra atau tidak, seperti yang dikemukakan diatas. Namun definisi tunanetra dalam pendidikan ialah mereka yang memiliki hambatan penglihatan secara signifikan (berarti) walaupun telah dikoreksi atau diobati dengan penggunaan kacamata namun tetap masih memiliki penglihatan yang kurang baik dari anak normal, yang kemudian terbagi menjadi beberapa tingkatan menjadi low vision (kurang lihat) dan blind (buta), sehingga mereka membutuhkan dan memerlukan pelayan pendidikan yang khusus dalam pembelajaran untuk mengoptimalkan kemampuan prestasi belajar mereka dalam pendidikannya di sekolah.
Kurang Lihat (Low Vision)
            Faye dalam samuel A.Kirk (1989 : 348) mendefinisikan orang yang kurang lihat (low vision) sebagai orang yang meskipun sudah diperbaiki penglihatannya namun masih lebih randah atau kurang dari normal tetapi penglihatanya dapat dipergunakan secara berarti. Namun jika penglihatannya masih dapat diperbaiki, dikoreksi, diobati dengan kacamata yang tepat seperti myopia dan hypermetropia lalu bisa mengikuti pendidikan seperti anak yang lainnya dan bisa melihat seperti anak normal pada jarak yang normal maka secara umum tidak dikelompokan dalam tunanetra.
            De Mott (1982  : 272) mendefinisikan orang yang kurang lihat adalah mereka yang memiliki tingkat ketajaman penglihatan sentral antara 20/70 dan 20/200 feet, maka membutuhkan bantuan khusus atau modifikasi materi atau membutuhkan kedua-duanya dalam pendidikannya di sekolah.
Buta (Blind)
            Barraga dalam Samuel A.Kirk (1989 : 343) mengemukakan bahwa orang uang buta memiliki persepsi sinar tanpa proyeksi(yang berarti mereka merasakan adanya sinar tetapi tidak mampu untuk memproyeksi atau mengidentifikasi sumber sinarnya) atau sama sekali tidak memiliki persepsi sinar.
            De Mott (1982 : 272) mengemukakan bahwa istilah buta, diberikan kepada orang yang sama sekali tidak memiliki penglihatan atau yang hanya memiliki persepsi cahaya. Siswa yang buta akan diajarkan braile, maka membutuhkan bantuan khusus atau modifikasi materi atau membutuhkan kedua-duanya dalam pendidikannya disekolah.
            Geraldine T.Scholl (1986 : 26) mengemukakan bahwa orang yang memiliki kebutaan menurut hukum (legal blindness) apabila ketajaman penglihatan sentralnya 20/200 feet atau kurang pada penglihatan terbaiknya. setelah dikoreksi dengan kacamata atau ketajaman penglihatan sentralnya lebih buruk dari 20/200 feet, serta ada kerusakan pada lantang pandangnya membentuk sudut yang tidak lebih besar dari 20 derajat pada mata terbaiknya.
            Istilah buta yang sering digunakan masyarakat umum hendaknya tidak digunakan untuk sebutan atau panggilan terhadap orang yang memiliki kelainan penglihatan, tetapi hanya digunakan dalam pengelompokan untuk keperluan layanan pendidikan yang sesuai dengan tingkat kemampuan penglihatan.
          Ukuran ketajaman penglihatan dalam ilmu medis diperoleh melalui tes dengan menggunakan kartu snellen. Kartu snellen ada 3 macam : yaitu kartu bentuk E, bentuk Abjad, bentuk gambar-gambar. Bentuk gambar-gambar dianggap kurang efektif karena tidak semua gambar dikenal oleh anak-anak.

Akhir kata penulis menghimbau, tulisan diatas hanya sekedar tulisan singkat mengenai tunanetra dan golonganya  oleh karena itu penulis mengharapkan untuk para pembaca dan pengutip untuk mencari bahan yang lebih baku dan bisa di jadikan acuan penulisan. Terima kasih.

Sumber :
Wardani, I.G.A.K, 2010. “Pengantar Pendidikan Luar Biasa”, Universitas Terbuka : Jakarta, 2010

0 komentar:

Posting Komentar

Popular Posts